Menjadi Cermin Bagi Sesama

Konon, seorang Yahudi hidup bertetangga dengan seorang Muslim. Yahudi ini hidup di ruang atas, dari mana semua jenis kotoran dan sampah berasal, kotoran anak-anaknya, air bekas cucian baju, semuanya jath ke ruangan keluarga sang sufi yang berada di lantai bawahnya. Tetapi Muslim itu tak pernah menegur, malah berterima kasih kepada Yahudi, dan memerintahkan keluarganya untuk melakukan hal yang sama. Hal itu berlangsung terus selama delapan tahun, sampai Muslim itu wafat. Untuk mengucapkan duka cita kepada keluarganya, Yahudi itu pun mengunjungi kamar Muslim itu. Melihat semua kotoran dan bagaimana kotoran itu terbuang dari ruang atas, dia menyadari apa yang telah terjadi selama bertahun-tahun kemarin. Dia pun berkata kepada keluarga Muslim itu, ”Mengapa engkau tidak pernah menceritakannya kepadaku? Mengapa engkau selalu berterima kasih kepadaku?” Mereka menjawab, ”Ayah

kami memerintahkan kami untuk selalu bersyukur dan marah jika kami menghentikan rasa syukur itu.” Yahudi itu terdiam, tak lama kemudian ia pun bersyahadat. Demikianlah Allah swt telah menanamkan kata-kata yang baik, sangka yang baik, dan perilaku yang baik kepada keluarga Muslim itu. Dampaknya, si Yahudi pun akhirnya beriman. Perilaku keluarga Muslim itu ibarat sebuah tukang kebun yang menanam bunga dan tetumbuhan wangi di sekeliling rumahnya. Dalam bahasanya Rumi, ” Mereka yang menanamkan kebiasaan berbicara baik tentang orang lain seperti tukang kebun yang menanam bunga dan tetumbuhan yang wangi di sekeliling rumah mereka ke mana saja mereka memandang, mereka melihat sebuah pemandangan yang indah dan selalu berada di surga.” Ketika orang-orang bicara dengan baik tentang orang lain, kata-kata baik itu akan merefleksi balik kepada diri mereka sendiri, pada akhirnya mereka memuji esensi mereka sendiri. Kapan pun kita berbicara baik tentang orang lain, orang itu menjadi kawan kita. Ketika kita mengingat mereka, kita mengingat seorang kawan, dan memikirkan kawan adalah seperti berada di dekat bunga-bunga dan tetumbuhan yang wangi. Inilah yang namanya penyegaran dan ketenangan. Jika kita temukan kesalahan dalam diri saudara kita, kesalahan yang kita lihat dalam diri mereka ada dalam diri kita. Seorang sufi sejati senantiasa menempatkan dirinya ibarat sebuah cermin, di mana ia dapat melihat bayangannya sendiri karena ”orang beriman adalah sebuah cermin bagi kawan-kawan beriman mereka”. Ia akan senantiasa menghapus kesalahan-kesalahan yang menempel di dalam dirinya, karena akan mengganggu dirinya dan diri orang lain. Janganlah menjadi seokor gajah yang dungu. Seekor gajah saat dibimbing menuju sebuah sungai kecil untuk minum. Ketika melihat bayangan dirinya sendiri dalam air, ia menjauh. Ia berpikir bahwa ia sedang menjauhkan diri dari seekor gajah lain. Padahal, sesungguhnya ia menghindari dirinya sendiri. Semua sifat jahat yang ada di dalam diri kita selama ia berada di dalam diri kita, tidak akan membawa luka yang dalam. Tetapi, jika kita melihatnya dalam diri orang lain, kita akan menghindar. Bukankah kita tidak merasa jijik dengan bisul yang menempel pada diri kita. Kita terbiasa mencelupkan tangan kita yang terinfeksi ke dalam makanan dan menjilati jemari kita tanpa pilih-pilih, tetapi saat melihat sedikit bisul atau koreng di tangan orang lain, kita pun menghindar dari makanan itu dan tak berminat lagi untuk makan. Apa maknanya? Ternyata semua sifat syaitan seperti bisul atau koreng ketika berada di dalam diri kita, ia tak menyebabkan rasa sakit, tetapi kita melihatnya bahkan pada tingkatan kecil dalam diri orang lain, kita merasa terusik, sakit, dan jijik. Bukankah rasa sakit yang sama akan muncul dari orang lain jika mereka melihat kita bersikap menjauh? Bukankah rasa sakit hati yang sama akan kita rasakan jika mereka melihat kesalahan yang sama? Seorang sufi selalu mengajarkan kepada murid-muridnya untuk menjadi sebuah cermin bagi tetangga-tetangga mereka. Karena itu jika kita belum mampu merasakan kesengatan kebenaran, kita belum termasuk cermin bagi orang lain kecuali bagi dirinya sendiri. Bukankah Nabi Muhammad saw tidak menaklukkan Mekkah dan daerah sekitarnya karena beliau membutuhkannya? Bukankah itu semua beliau lakukan dalam upayanya untuk memberikan kehidupan dan menyebarkan Cahaya Ilahiah kepada semua manusia? ”Ini adalah sebuah tangan yang terbiasa memberi, ia tidak terbiasa untuk mengambil”. Bukankah Allah telah memberikan bejana kepada semua orang? Bagi sebagian, Dia menunjukkan bejana yang penuh dengan air, dan mereka meminumnya sampai kenyang. Tetapi bagi sebagian lagi, Allah malah menunjukkan bejana yang kosong. Rasa syukur apa yang dapat diberikan seseorang demi sebuah bejana yang kosong? Hanya mereka, yang ditunjukkan bejana yang penuh oleh Tuhan, menemukan rasa syukur atas berkah ini. Tugas kita di dunia ini adalah menjadi manusia yang dapat memberdayakan manusia lain dalam upaya melimpahkan berkah-berkah-Nya kepada sesama Muslim, bukan untuk mengambil apa-apa dari mereka, insya Allah! (ADB) Oleh: Asfa Davy Bya, S.H.

Comments

Popular Posts